Kamis, 24 Januari 2013

Cerpen :)


Rain... Remind Me Of You Justin Bieber
                Seorang perempuan yang kehilangan senyumnya selama lebih dari satu tahun yang kini tengah duduk termenung di sebuah kursi di depan sungai, pandangannya kosong, entah apa yang ada di pikirannya. Angin berhembus dibiarkan saja menerpa paras cantiknya itu, rambutnya yang digerai sedikit menutupi wajahnya. Awan hitam memenuhi langit bitu yang kini terlihat mendung, Sama seperti hati seorang perempuan yang bernama Taylor Swift yang kini entah bagaimana asal hidupnya ketika orang yang dicintainya pergi tanpa aba-aba satu tahun lalu. Hujan turun bersamaan dengan air mata yang kini mengalir deras di pipinya. Dia membiarkan tubuh mungilnya dibasahi oleh tetesan hujan yang turun dari langit. Tangannya terangkat untuk menyentuh tetesan-tetesan hujan, dia menengadahkan kepalanya, memejamkan matanya, membiarkan tetesan hujan jatuh langsung ke wajahnya dengan tangan yang masih terangkat. Dia sedang menikmati anugerah Tuhan. Hujan... Bukankah itu anugerah paling indah yang diberikan Tuhan?
                “Sayang...”Desisnya pelan.
                Dia berjalan dengan gontai menuju halte, tubuhnya sedikit menggigil. Dia berniat untuk pulang dan menunggu bus di halte. Dia duduk di kursi halte. Matanya kini sedang memandangi halte itu, tempat dimana dia bertemu dengan seseorang untuk pertama kalinya.
                -Flash Back-                                                           
                Mengapa akhir-akhir ini sering turun hujan? Dan mengapa bus tak kunjung datang juga. Aku sudah duduk berjam-jam di tempat ini. Huh! Menyebalkan. Kulihat di sana hanya ada laki-laki yang duduk di sampingku. Bukan di sampingku sebenarnya, jarak kami jauh. Namun karena hanya ada kami berdua disini. Dia basah kuyup dan menggigil sama sepertiku. Kenapa busnya belum datang juga? Aku bisa mati beku jika terus-terusan berada disini. Tiba-tiba bahuku merasa hangat. Dan kembali ke posisinya tadi. Sementara dia hanya mengenakan kemeja putih yang basah sehingga badannya terlihat.
                “Terima kasih,” ucapku. Dia hanya mengangguk pelan tanpa memandangku. Jutek sekali. Dia menggigil, bibirnya pun mulai bergetar. Sepertinya dia benar-benar kedinginan.
                “Kau menggigil, aku tidak apa-apa. Kau terlihat lebih kedinginan daripada aku,”ucapku kemudian. Aku berniat melepas jaketnya tadi.
                “Jangan di lepas...”
                “Tapi kau..”
                “Tidak apa-apa,”ucapnya dan masih tak memandangku.
                “Kau sedang menunggu bus?”tanyaku kemudian. Dia mengangguk.
                “Arah kemana?”
                “Ontario,”
                “ Apa? Aku juga akan kesana. Kita satu arah,”ucapku sambil tersenyum. Dia hanya diam.
                “Ontario sebelah mana?”tanyaku lagi. Berharap dia akan menjawab.
                “Canada City Apartement,”
                “Apa? Aku juga disitu. Lantai berapa?”
                “11,”
                “Aku lantai 12. Kita tetangga rupanya,”dan untuk yang kesekian kalinya. Dia hanya diam dan masih belum memandangku. Apa aku sangat jelek sehingga dia tak ingin melihatku.
                “Tapi .. aku tak pernah melihatmu,”ucapku kemudian.
                “Aku baru pindah kemarin,”
                “Oh ya..”
                Kujurkan tanganku, dia melihat juluran tanganku dan beralih menatapku, akhirnya mata kita bertemu juga.
                “Taylor Swift,”lekas dia membuang pandangannya ke arah lain. Dan menggenggam tanganku tanpa melihatku.
                “Justin Bieber,”
                “Senang bertemu denganmu Justn Bieber,”ucapku seraya tersenyum. Dia juga tersenyum.
                “Aah busnya datang, ayo!”
                Kami berlari menembus hujan dan sengaja menaiki bus.
                “Hujan..... Kebanyakan orang tidak suka. Bahkan ada yang membenci hujan. Namun berbeda denganku. Aku sangat menyukai hujan, mengapa begitu? Karena di saat hujan turun, Tuhan mempertemukanku dengan seseorang yang kini masih mengisi hidupku.
-Canada Uneversity-                 
Kini saatnya pelajaran yang ku benci. Matematika. Mendengar namanya pun sudah membuatku pusing. Donsenku mulai memasuki kelas dengan seorang laki-laki. Pasti murid baru..aah membosankan. Aku mengantuk!
                “Selamat Pagi..”
                Suara itu ! Aku langsung mencari sumber suara. Ternyata anak baru itu.
                “Justin Bieber,” Aah! Aku tak percya dia sekelas denganku, senangnya. Dia duduk tepat disampingku.
                “Hai...” Ku lambaikan tanganku. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. Dan senyumnya itu sangat menarik sekali.
-skip-bel istirahat-
                “Justin kau sekolah disini juga rupanya,”ucapku saat mengekorinya untuk pergi ke kantin. Dia hanya diam dan berjalan tanpa menggubrisku. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan.
                “Justin kau mau makan apa?” Dia sedang memilih-milih makanan yangada di kantin.
                “Bagaimana kalau kita makan ini saja,”ucapku sambil menunjuk makanan favoritku. Dan dia hanya mengangguk pelan dengan wajah datarnya.
                “Bibi aku pesanini untuk dua orang,”ucapku kemudian.
                “Iya mbak,”jawab Bibi itu.
                “Ayo Justin kita duduk disana,”ucapku sambil menunjuk sepasang bangku yang kosong.
                “Jika aku tau kau sekolah disini mungkin aku akan berangkat bersamamu Justin. Besok kita berangkat bersama ya,”
                “Jangan, aku berangkat sekolah menggunakan sepeda,”
                “Oh! Kalau begitu kita bersepeda bersama saja,”
                “Hmm..”
                “Ini pesanannya mbak,”kemudian Bibi datang sambil membawa pesanan yg sudah ku pesan tadi.
                “Ah,iya. Terimakasih Bibi,”ucapku sambil tersenyum kepada Bibi.
-skip-
                “Justin, kau akan pulang dengan menggunakan sepeda?”tanyaku pada Justin. Setelah bel pulang sekolah, aku segera mengejar Justin yang berjalan sangat cepat sekali.
                “Tidak. Aku akan naik bus saja, tadi aku belum tau arah jalannya. Jadi aku diantar oleh supirku,” jawabnya datar dan tanpa ekspresi.
                “Kita pulang bersama saja Justin!”
                “Hmm..”
                “Justin, itu busnya sudah datang, ayo!”jawabku sambil menarik tangan Justin dan segera memasuki bus. Sejak pertemuan waktu itu, kami cukup dekat. Di tambah dia sekelas denganku. Kami jadi semakin dekat. Bukankah ini sebuah kebetulan yang indah? Dan kalian tau, kini kami akan bersepeda bersama. Dia tengah menungguiku lengkap dengan sepedanya.
                “Hai Justin,” ucapku sambil melambaikan tangan pada Justin.
                “Kau lama sekali. Ayo cepat kita sudah terlambat,”
                “Hehe, aku minta maaf kalau begitu!”ucapku sambil tertawa kecil.
                Kami mulai mengayuh sepeda. Dia ini cepat sekali. Akan kucoba menyusulnya. Namun dia malah mempercepat laju sepedanya.
                “Justin tungguuuuu,”teriakku. Dia tertawa. Baru kali ini aku melihatnya tertawa. Walaupun hanya sekilas.
                *Bruukkk*
                Awww.  Aku terjatuh! Tawanya menghilangkan konsentrsiku. Kulihat Justin menghentikan lajunya. Dan segera turun dari sepedanya. Kemudian berlari ke arahku.
                “Kau.. tidak apa-apa?”tanyanya.
                “Tidak apa-apa Justin. Hehe,”jawabku sambil tertawa kecil.
                “Ah, kau malah tertawa. Apa ada yang sakit?”tanyanya lagi.
                Jarak kami pun sangat dekat sekarang. Aku bisa melihat wajah datarnya dengan jelas. Wajah tampannya. Tidak, Dia lebih dari kata tampan. Dan jantung ini.. kenapa berdetak begitu cepat sekali? Oh Tuhan.... Apa aku menyukainya?
                “Taylor Swift?”
                “Hm...”gumamku. Masih menatap lekat wajah tampannya.
                “Apa ada yang sakit?”
                Aku hanya menggeleng, mataku tak bisa lepas dari pandangannya.
                “Kau bisa mengayuh sepeda?”tanya Justin
                “Sepertinya,”
                “Sungguh tidak ada yang terluka?”
                “Tidak Justin,”
                “Ayo kita lanjutkan perjalananya. Ini sudah hampir telat,”
                “Hmm, iya,”Dia membantuku berdiri. Kami pun kembali melanjutkan mengayuh sepeda. Tapi kali ini dia memperlambat lajunya. Jadi kami mengayuhnya bersama-sama.
-skip-
                Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa. Ini sudah hampir 6 bulan aku mengenalnya. Hubungan kami semakin dekat. Dia Justin Bieber, kinitak sedingin dulu. Seperti es, lama-kelamaan dia akan mencair. Saat ini aku sedang siap-siap untuk pergi. Dia mengajakku untuk jalan-jalan karena udara saat ini begitu dingin. Tentu pakaian yang aku gunakan juga pasti hangat.
                “Kau sudah siap? Ayo!”
                “Justin, sebenarnya kita akan kemana?”tanyaku keheranan.
                “Ke tempat yang menyenangkan!”
                “Ah iyaa, ayo,”
                Seharian ini benar-benar menyenangkan. Banyak tempat yang kami temui. Kami sedang berada do Ice Skating. Dan parahnya  aku benar-benar tidak ahli untuk memainkannya.
                “Taylor Swift, ayo!”
                Dengan mudah Justin menggerakkan tubuhhnya di hamparan es ini. Sementara aku hanya diam mematung.
                “Kau tak bisa ya?”tanya Justin.
                “Iyaaa,”ucapku. Sambil menundukkan kepalaku. Karena aku sangat malu sekali.
                “Hahahaa. Hal seperti ini saja aku tidak bisa? Payah,”
                “Tidak ada yang lucu Justin!!!”
                “Ada! Kau yang lucu. Ayo!”ucapnya. Lalu dia memegang tanganku bermaksud untuk membantuku berjalan.
-skip-
                “Langit sudah gelap. Udara semakin dingin. Tapi aku merasa hangat karena aku telah menyandarkan tubuhku pada Justin.
                “Justin, pemandangannya sangat indah,”ucapku.
                “Hmmm..”
                “Foto?”
                “Ya!”Dia memelukku dari belakang. Kami memasang wajah semanis mungkin.
                #Jepreeettt
                “Lagi?”
                “Tentu,”
                -Flash Back End-
                Aku tersenyum kecut sekali mengingat hal itu, pertemuan ynag terjadi disini saat hujan. Hingga hubungah kami menjadi hubugan yang lebih dari sekedar teman. Akhirnya busnya datang. Aku sudah cukup lama duduk disini. Membayangkan peristiwa lampau yang menyenagkan. Ingin aku menjadi seceria dulu. Tapi saat ini tak ada yang bisa membuatku ceria lagi. Taylor Swift yang ceria kini telah lenyap. Aku duduk di kursi bagian belakang. Kepalaku kusandarkan pada kaca bus yang berembun. Tanganku menari-nari di atas kaca itu untuk menuliskan kata yang selalu ku ucap dari bibirku.”aku merindukanmu , Justin.”
                Aku menghela napas beratku dan segera turun dari bus tak terasa aku sudah sampai di apartementku. Ku hempaskan tubuhku di tempat tidur. Pandanganku tertuju pada sebuah liontin yang pernah lepas. Karena ini merupakan salah satu pemberian Justin. Dia memberikan ini saat dia menyatakan cintanya padaku.
-Flash Back-
                Aku duduk di sebuah kursi di ruangan ini dan di sekelilingku terdapat kelopak bunga beserta lilin-lilin yang indah. Aku sedikit terkejut karena lampu disini mati. Gelap. Namun tiba-tiba menyala lampu berwarna shappire blue yang bertuliskan “I LOVE YOU TAYLOR SWIFT”
                Aku tersenyum malu. Ternyata ini kejutan Justin. Kemudian dia mendekat padaku. Dan berlutut di hadapanku. Menggenggam tanganku. Tak percaya dengan apa yang terjadi saat inidia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya. Sebuah liontin?
                “Untuk siapa?”tanyaku.
                “Untukmu,”jawab Justin singkat.
                “Benarkah?”
                “Iya, sayang,”
-Flash Back End-
-skip-
                Matahari mulai menampakkan dirinya di hadapan bumi. Kicauan burung meramaikan aktivitas pagi ini. Pagi yang cerah, namun tak secerah hidupku. Kusam. Kusut. Itulah gambaran hidupku saat ini.
                “Sayang, jika aku pergi dari dunia ini, otomatis aku akan meninggalkanmu. Tapi, tenang saja. Aku berjanji aku akan datang setiap pagi seperti cahaya matahari pagi yang selalu menghangatkanmu,”
                Itulah yang diucapkannya sehari sebelum kematiannya. Dia selalu menepati janjinya. Setiap pagi dia selalu datang. Pancaran cahaya matahari yang hangat diantara udara dingin kini menerpaku. Hangat. Inilah yang kurasakan. Itu artinya dia sedang berada di sisiku. Mendekapku. Air mata ini mengalir, selalu seperti ini. Tapi biarlah, setidaknya setiap dia datang, aku bisa merasakan bagaimana rasanya tersenyum walau sekejap.
                Di sinilah aku, duduk di tepi pantai tempat dimana semua kenangan, ku ingat disini. Jika aku sedang benar-benar merindukannya, aku selalu disini mencurahkan semua kepedihanku.
                “Justin, hari ini tepat 2 tahun kau meninggalkanku. Teganya dirimu. Mengapa kau tak berusaha menjemputku? Aku bosan  menunggumu Justin. Jika kau tak menjemputku, aku akan pergi sendiri menyusulmu. Itu hal yang kau larang bukan? Tapi mengapa kau belum datang juga?”Teriakku.
-skip-
                Aku tengah duduk di bawah pohon besar di pinggir jalan dengan keadaan yang sangat kacau. Aku sangat layak untuk disebut orang gila. Sepertinya, aku mulai menyentuh rerumputan yang ada di sekelilingku. Tempat ini....
-Flash Back-
                “Kau yakin akan menggunakan motor Sayang?”
                “Iya Justin. Kita sudah telat,”
                “Ya sudah..”
                “Kenapa?”
                “Kau tak takut tatanan rambut dan make up mu hancur?”
                “Tidak. Ayo cepat!”Kemudian kami pun mulai berangkat.
                “Lebih dipercepat Justin,”ucapku. Dia menambah kecepatan laju motornya. Cukup tinggi memang. Bahkan aku harus memeluknya erat karena ini terlalu cepat. Tangannya sempat terangkat untuk melihat jam. Namun keseimbangannya hilang. Dengan cepat dia menahan motornya dan menyeimbangkannya kembali.
                “Tidak apa-apa?”Justin menoleh ke arahku.
                “Tidak.... Justin, awaas!”
                Tanpa kita sadari, ada sebuah mobil menyebrang di perempatan jalan ini. Karena kecepatan motornya terlalu tinggi, akhirnya kami menabrak mobil tersebut. Kami terpental sangat jauh. Aku terpental ke rerumputan pinggir jalan. Untungnya. Jadi lukaku tak terlalu parah. Namun, Justin... dia terpental ke jalan raya. Sangat jauh denganku. Bagaimana ini? Mobil tadi langsung pergi tanpa pertanggung jawaban. Motor kami pun terpental sangat jauh dari sini, motor itu hancur dan terbakar.            
                Jus..tin....
                Arrghh, kepalaku pusing. Justin mengeluarkan darah rupanya. Aku terbentur oleh bebatuan yang ada disini. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berdiri dan berjalan menuju Justin yang tengah terkapar dilumuri darah.
                “Jus...tin...”desisku.
                Aku tak kuat lagi, sudah setengah jalanmenuju Justin, namun aku roboh. Dia mengulurkan tangannya mencoba menggapaiku. Ku kumpulkan semua tenagaku, akhirnya aku bangkit lagi dan berlari ke arahnya.
                “Justiiinn....bertahanlaaahhh...”teriakku
                Dia hanya tersenyum padaku. Ahh! Hujan! Kenapa harus hujan di saat seperti ini? Aku mencoba mengangkat Justin, entah tenaga dari mana akhirnya aku bisa membopongnya menuju tempat yang teduh. Disini, di bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan.
                “Tolong!!! Ku mohon siapapun tolong kami,”
                Percuma aku berteriak sekancang apapun, tidak akan ada siapapun disini. Tidak ada gedung, rumah atau apalah. Disini hanya ada jalan yang sepi dan rintikan hujan yang mulai deras.
                “Justin....kumohon bertahanlah,”
                KU letakkan kepalanya di pahaku. Aku mengeluarkanponselku, mencoba untuk menghubungi siapapun.
                “Aaaaaw! Kenapa lowbat!”
                Aku mengambil ponsel  Justin yang berada di dalam saku celananya.
                “Haloo?”
                “Ada yang bisa kami bantu nona?”
                “Tolong panggil ambulance secepatnya, ada korban kecelakaan,”
                “Baik nona,”
                KLIK.
                “Justin, ambulance akan segera datang, jadi bertahanlah sebentar lagi,”Dia mengangguk.
                “Aku akan menghubungi mama,”Dia mencegah tanganku yang hendak meraih ponselnya. Kemudian dia menggeleng pelan.
                “Kenapa?”                                                                                                                                                                  
                “Ku mohon diamlah, dengarkan aku dulu,”ucapnya setengah berbisi k. Mungkin tenaganya tak cukup untuk berbicara.
                “Ya.. Justin. Katakan padaku,”
                Dia tersenyum terlebih dahulu padaku. Dan itu terlihat sangat menyedihkan. Dengan kondisinya saat ini.
                “Jika aku pergi kumohon padamu untuk tetap selalu ceria, aku tidak ingin melihatmu hancur karenaku,”
                “Justin, jangan bicara seperti itu,”
                “Dan kumohon, kau jangan berniat untuk menyusulku. Jangan sesekali kau melakukan itu. Tunggu aku. Aku juga pasti akan menjemputmu. Selama kau menungguku kau harus tetap bahagia dan harus tetap tersenyum,uhuk uhuk” Keluar darah dari mulutnya, dia mengusap dengan tangannya. Ku bungkam mulutku untuk menahan isak tangis ini. Sungguh, aku tak kuat melihat keadaannya saat ini. Darah memenuhi sekujur tubuhnya. Kemeja putihnya nampak berubah menjadi merah. Darah mengalir dari kepala hingga pelipisnya. Oh Tuhan..... aku tak kuat melihat semua ini.
                “Justin bertahanlah, jangan banyak bicara jika itu menyakitimu,”Dia menggeleng.                    
                “Tidak. Sungguh tidak ada waktu lagi, aku harus menyampaikan semuanya,”
                “Justin..kumohon,”
                “Taylor, aku benar-benar mencintaimu. Kau telah hadir mengisi hidupku. Membuatku menjadi ceria. Maaf karena aku belum smpat membahagiakanmu,”
                “Tidak Justin, kau sudah membuatku sangat bahagia Justin..ku mohon,”
                “Tenang saynag, sakit rasanya melihat air mata itu membasahi wajah cantikmu, sangat sakit melebihi luka yang memenuhi tubuhku saat ini,” Jemari lemahnya yang penuh darah mencoba menghapus air mataku.
                “Aku mencintaimu,”ucapnya sambil terisak.
                Dia juga menangis...... Lelaki ini juga menangis. Ku genggam tangannya yang berada di pipiku.
                “Uhuk, uhuk... Aku sudah tak kuat lagi sayang... Maafkan aku harus meninggalkanmu,”
                “Jangan Justin, jangan ! Kumohon....”   
                “Bolehkan aku mengecup keningmu? Se-kali in-i sa-ja,”ucapnya terbata-bata.
                Ku dekatkan keningku ke bibirnya, di kecupnya keningku lembut dan tersenyum diiringi buliran-buliran air matanya.
                “A-ku men-cin-ta-i-mu”Ucapnya dengan susah payah.
                “Aku juga mencintaimuu Justin,”
                Dan akhirnya matanya tertutup dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng kuat. Membungkan mulutku. Aku tidak bisa berkata apapun. Sungguh ini sangat pedih. Separuh jiwaku telah pergi. Sangat pedih rasanya. Aku harus bagaimana Tuhan? Mengapa takdirku sangat menyedihkan?
                “JUSTIIINNNNNNNNNNNNN!!!” Teriakku tak rela dengan perginya seseorang yang saat ini ada di depanku. Seseorang yang sudah tak bernyawa lagi.
                “JUSTINN—NN---NN---NN,”Jeritku lagi.
                Tuhan, mengapa? Mengapa harus  seperti ini? Ku mengadahkan kepalaku membiarkan tetesan air hujan bercampur air mataku menerpa wajah ini. Ya, hujan semakin deras. Membasahi kami. Hujan seolah-olah menjadi saksi bisu atas peristiwa ini. Hujan juga menjadi alasan dia meninggalkanku.
                “Ternyata aku salah. Pendirianku bahawa hujan itu menyenangkan itu salah. Memang, hujanlah yang mempertemukan kami. Namun hujan pulan yang memisahkan kami untuk selamanya.”
-THE END-
                

Tidak ada komentar:

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info
" AUTOSTART="TRUE" LOOP="TRUE" WIDTH="0" HEIGHT="0" ALIGN="CENTER">