Rain...
Remind Me Of You Justin Bieber
Seorang
perempuan yang kehilangan senyumnya selama lebih dari satu tahun yang kini
tengah duduk termenung di sebuah kursi di depan sungai, pandangannya kosong,
entah apa yang ada di pikirannya. Angin berhembus dibiarkan saja menerpa paras
cantiknya itu, rambutnya yang digerai sedikit menutupi wajahnya. Awan hitam
memenuhi langit bitu yang kini terlihat mendung, Sama seperti hati seorang
perempuan yang bernama Taylor Swift yang kini entah bagaimana asal hidupnya ketika
orang yang dicintainya pergi tanpa aba-aba satu tahun lalu. Hujan turun
bersamaan dengan air mata yang kini mengalir deras di pipinya. Dia membiarkan
tubuh mungilnya dibasahi oleh tetesan hujan yang turun dari langit. Tangannya
terangkat untuk menyentuh tetesan-tetesan hujan, dia menengadahkan kepalanya,
memejamkan matanya, membiarkan tetesan hujan jatuh langsung ke wajahnya dengan
tangan yang masih terangkat. Dia sedang menikmati anugerah Tuhan. Hujan...
Bukankah itu anugerah paling indah yang diberikan Tuhan?
“Sayang...”Desisnya
pelan.
Dia
berjalan dengan gontai menuju halte, tubuhnya sedikit menggigil. Dia berniat
untuk pulang dan menunggu bus di halte. Dia duduk di kursi halte. Matanya kini
sedang memandangi halte itu, tempat dimana dia bertemu dengan seseorang untuk
pertama kalinya.
-Flash Back-
Mengapa
akhir-akhir ini sering turun hujan? Dan mengapa bus tak kunjung datang juga.
Aku sudah duduk berjam-jam di tempat ini. Huh! Menyebalkan. Kulihat di sana
hanya ada laki-laki yang duduk di sampingku. Bukan di sampingku sebenarnya,
jarak kami jauh. Namun karena hanya ada kami berdua disini. Dia basah kuyup dan
menggigil sama sepertiku. Kenapa busnya belum datang juga? Aku bisa mati beku
jika terus-terusan berada disini. Tiba-tiba bahuku merasa hangat. Dan kembali
ke posisinya tadi. Sementara dia hanya mengenakan kemeja putih yang basah
sehingga badannya terlihat.
“Terima
kasih,” ucapku. Dia hanya mengangguk pelan tanpa memandangku. Jutek sekali. Dia
menggigil, bibirnya pun mulai bergetar. Sepertinya dia benar-benar kedinginan.
“Kau
menggigil, aku tidak apa-apa. Kau terlihat lebih kedinginan daripada
aku,”ucapku kemudian. Aku berniat melepas jaketnya tadi.
“Jangan
di lepas...”
“Tapi
kau..”
“Tidak
apa-apa,”ucapnya dan masih tak memandangku.
“Kau
sedang menunggu bus?”tanyaku kemudian. Dia mengangguk.
“Arah
kemana?”
“Ontario,”
“ Apa?
Aku juga akan kesana. Kita satu arah,”ucapku sambil tersenyum. Dia hanya diam.
“Ontario
sebelah mana?”tanyaku lagi. Berharap dia akan menjawab.
“Canada
City Apartement,”
“Apa?
Aku juga disitu. Lantai berapa?”
“11,”
“Aku
lantai 12. Kita tetangga rupanya,”dan untuk yang kesekian kalinya. Dia hanya
diam dan masih belum memandangku. Apa aku sangat jelek sehingga dia tak ingin
melihatku.
“Tapi
.. aku tak pernah melihatmu,”ucapku kemudian.
“Aku
baru pindah kemarin,”
“Oh
ya..”
Kujurkan
tanganku, dia melihat juluran tanganku dan beralih menatapku, akhirnya mata
kita bertemu juga.
“Taylor
Swift,”lekas dia membuang pandangannya ke arah lain. Dan menggenggam tanganku tanpa
melihatku.
“Justin
Bieber,”
“Senang
bertemu denganmu Justn Bieber,”ucapku seraya tersenyum. Dia juga tersenyum.
“Aah
busnya datang, ayo!”
Kami
berlari menembus hujan dan sengaja menaiki bus.
“Hujan.....
Kebanyakan orang tidak suka. Bahkan ada yang membenci hujan. Namun berbeda
denganku. Aku sangat menyukai hujan, mengapa begitu? Karena di saat hujan
turun, Tuhan mempertemukanku dengan seseorang yang kini masih mengisi hidupku.
-Canada Uneversity-
Kini saatnya pelajaran yang ku
benci. Matematika. Mendengar namanya pun sudah membuatku pusing. Donsenku mulai
memasuki kelas dengan seorang laki-laki. Pasti murid baru..aah membosankan. Aku
mengantuk!
“Selamat
Pagi..”
Suara
itu ! Aku langsung mencari sumber suara. Ternyata anak baru itu.
“Justin
Bieber,” Aah! Aku tak percya dia sekelas denganku, senangnya. Dia duduk tepat
disampingku.
“Hai...”
Ku lambaikan tanganku. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. Dan senyumnya itu
sangat menarik sekali.
-skip-bel istirahat-
“Justin
kau sekolah disini juga rupanya,”ucapku saat mengekorinya untuk pergi ke
kantin. Dia hanya diam dan berjalan tanpa menggubrisku. Sambil memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan.
“Justin
kau mau makan apa?” Dia sedang memilih-milih makanan yangada di kantin.
“Bagaimana
kalau kita makan ini saja,”ucapku sambil menunjuk makanan favoritku. Dan dia
hanya mengangguk pelan dengan wajah datarnya.
“Bibi
aku pesanini untuk dua orang,”ucapku kemudian.
“Iya
mbak,”jawab Bibi itu.
“Ayo
Justin kita duduk disana,”ucapku sambil menunjuk sepasang bangku yang kosong.
“Jika
aku tau kau sekolah disini mungkin aku akan berangkat bersamamu Justin. Besok
kita berangkat bersama ya,”
“Jangan,
aku berangkat sekolah menggunakan sepeda,”
“Oh!
Kalau begitu kita bersepeda bersama saja,”
“Hmm..”
“Ini
pesanannya mbak,”kemudian Bibi datang sambil membawa pesanan yg sudah ku pesan
tadi.
“Ah,iya.
Terimakasih Bibi,”ucapku sambil tersenyum kepada Bibi.
-skip-
“Justin,
kau akan pulang dengan menggunakan sepeda?”tanyaku pada Justin. Setelah bel
pulang sekolah, aku segera mengejar Justin yang berjalan sangat cepat sekali.
“Tidak.
Aku akan naik bus saja, tadi aku belum tau arah jalannya. Jadi aku diantar oleh
supirku,” jawabnya datar dan tanpa ekspresi.
“Kita
pulang bersama saja Justin!”
“Hmm..”
“Justin,
itu busnya sudah datang, ayo!”jawabku sambil menarik tangan Justin dan segera
memasuki bus. Sejak pertemuan waktu itu, kami cukup dekat. Di tambah dia
sekelas denganku. Kami jadi semakin dekat. Bukankah ini sebuah kebetulan yang
indah? Dan kalian tau, kini kami akan bersepeda bersama. Dia tengah menungguiku
lengkap dengan sepedanya.
“Hai
Justin,” ucapku sambil melambaikan tangan pada Justin.
“Kau
lama sekali. Ayo cepat kita sudah terlambat,”
“Hehe,
aku minta maaf kalau begitu!”ucapku sambil tertawa kecil.
Kami
mulai mengayuh sepeda. Dia ini cepat sekali. Akan kucoba menyusulnya. Namun dia
malah mempercepat laju sepedanya.
“Justin
tungguuuuu,”teriakku. Dia tertawa. Baru kali ini aku melihatnya tertawa.
Walaupun hanya sekilas.
*Bruukkk*
Awww. Aku terjatuh! Tawanya menghilangkan
konsentrsiku. Kulihat Justin menghentikan lajunya. Dan segera turun dari
sepedanya. Kemudian berlari ke arahku.
“Kau..
tidak apa-apa?”tanyanya.
“Tidak
apa-apa Justin. Hehe,”jawabku sambil tertawa kecil.
“Ah,
kau malah tertawa. Apa ada yang sakit?”tanyanya lagi.
Jarak
kami pun sangat dekat sekarang. Aku bisa melihat wajah datarnya dengan jelas.
Wajah tampannya. Tidak, Dia lebih dari kata tampan. Dan jantung ini.. kenapa
berdetak begitu cepat sekali? Oh Tuhan.... Apa aku menyukainya?
“Taylor
Swift?”
“Hm...”gumamku.
Masih menatap lekat wajah tampannya.
“Apa
ada yang sakit?”
Aku
hanya menggeleng, mataku tak bisa lepas dari pandangannya.
“Kau
bisa mengayuh sepeda?”tanya Justin
“Sepertinya,”
“Sungguh
tidak ada yang terluka?”
“Tidak
Justin,”
“Ayo
kita lanjutkan perjalananya. Ini sudah hampir telat,”
“Hmm,
iya,”Dia membantuku berdiri. Kami pun kembali melanjutkan mengayuh sepeda. Tapi
kali ini dia memperlambat lajunya. Jadi kami mengayuhnya bersama-sama.
-skip-
Waktu
berjalan begitu cepat, tak terasa. Ini sudah hampir 6 bulan aku mengenalnya.
Hubungan kami semakin dekat. Dia Justin Bieber, kinitak sedingin dulu. Seperti
es, lama-kelamaan dia akan mencair. Saat ini aku sedang siap-siap untuk pergi.
Dia mengajakku untuk jalan-jalan karena udara saat ini begitu dingin. Tentu
pakaian yang aku gunakan juga pasti hangat.
“Kau
sudah siap? Ayo!”
“Justin,
sebenarnya kita akan kemana?”tanyaku keheranan.
“Ke
tempat yang menyenangkan!”
“Ah
iyaa, ayo,”
Seharian
ini benar-benar menyenangkan. Banyak tempat yang kami temui. Kami sedang berada
do Ice Skating. Dan parahnya aku
benar-benar tidak ahli untuk memainkannya.
“Taylor
Swift, ayo!”
Dengan
mudah Justin menggerakkan tubuhhnya di hamparan es ini. Sementara aku hanya
diam mematung.
“Kau
tak bisa ya?”tanya Justin.
“Iyaaa,”ucapku.
Sambil menundukkan kepalaku. Karena aku sangat malu sekali.
“Hahahaa.
Hal seperti ini saja aku tidak bisa? Payah,”
“Tidak
ada yang lucu Justin!!!”
“Ada!
Kau yang lucu. Ayo!”ucapnya. Lalu dia memegang tanganku bermaksud untuk
membantuku berjalan.
-skip-
“Langit
sudah gelap. Udara semakin dingin. Tapi aku merasa hangat karena aku telah
menyandarkan tubuhku pada Justin.
“Justin,
pemandangannya sangat indah,”ucapku.
“Hmmm..”
“Foto?”
“Ya!”Dia
memelukku dari belakang. Kami memasang wajah semanis mungkin.
#Jepreeettt
“Lagi?”
“Tentu,”
-Flash
Back End-
Aku
tersenyum kecut sekali mengingat hal itu, pertemuan ynag terjadi disini saat
hujan. Hingga hubungah kami menjadi hubugan yang lebih dari sekedar teman.
Akhirnya busnya datang. Aku sudah cukup lama duduk disini. Membayangkan
peristiwa lampau yang menyenagkan. Ingin aku menjadi seceria dulu. Tapi saat
ini tak ada yang bisa membuatku ceria lagi. Taylor Swift yang ceria kini telah
lenyap. Aku duduk di kursi bagian belakang. Kepalaku kusandarkan pada kaca bus
yang berembun. Tanganku menari-nari di atas kaca itu untuk menuliskan kata yang
selalu ku ucap dari bibirku.”aku merindukanmu , Justin.”
Aku
menghela napas beratku dan segera turun dari bus tak terasa aku sudah sampai di
apartementku. Ku hempaskan tubuhku di tempat tidur. Pandanganku tertuju pada
sebuah liontin yang pernah lepas. Karena ini merupakan salah satu pemberian
Justin. Dia memberikan ini saat dia menyatakan cintanya padaku.
-Flash Back-
Aku
duduk di sebuah kursi di ruangan ini dan di sekelilingku terdapat kelopak bunga
beserta lilin-lilin yang indah. Aku sedikit terkejut karena lampu disini mati.
Gelap. Namun tiba-tiba menyala lampu berwarna shappire blue yang bertuliskan “I
LOVE YOU TAYLOR SWIFT”
Aku
tersenyum malu. Ternyata ini kejutan Justin. Kemudian dia mendekat padaku. Dan
berlutut di hadapanku. Menggenggam tanganku. Tak percaya dengan apa yang
terjadi saat inidia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya. Sebuah liontin?
“Untuk
siapa?”tanyaku.
“Untukmu,”jawab
Justin singkat.
“Benarkah?”
“Iya,
sayang,”
-Flash Back End-
-skip-
Matahari
mulai menampakkan dirinya di hadapan bumi. Kicauan burung meramaikan aktivitas
pagi ini. Pagi yang cerah, namun tak secerah hidupku. Kusam. Kusut. Itulah
gambaran hidupku saat ini.
“Sayang,
jika aku pergi dari dunia ini, otomatis aku akan meninggalkanmu. Tapi, tenang
saja. Aku berjanji aku akan datang setiap pagi seperti cahaya matahari pagi
yang selalu menghangatkanmu,”
Itulah
yang diucapkannya sehari sebelum kematiannya. Dia selalu menepati janjinya.
Setiap pagi dia selalu datang. Pancaran cahaya matahari yang hangat diantara
udara dingin kini menerpaku. Hangat. Inilah yang kurasakan. Itu artinya dia
sedang berada di sisiku. Mendekapku. Air mata ini mengalir, selalu seperti ini.
Tapi biarlah, setidaknya setiap dia datang, aku bisa merasakan bagaimana
rasanya tersenyum walau sekejap.
Di
sinilah aku, duduk di tepi pantai tempat dimana semua kenangan, ku ingat
disini. Jika aku sedang benar-benar merindukannya, aku selalu disini
mencurahkan semua kepedihanku.
“Justin,
hari ini tepat 2 tahun kau meninggalkanku. Teganya dirimu. Mengapa kau tak
berusaha menjemputku? Aku bosan
menunggumu Justin. Jika kau tak menjemputku, aku akan pergi sendiri
menyusulmu. Itu hal yang kau larang bukan? Tapi mengapa kau belum datang
juga?”Teriakku.
-skip-
Aku
tengah duduk di bawah pohon besar di pinggir jalan dengan keadaan yang sangat
kacau. Aku sangat layak untuk disebut orang gila. Sepertinya, aku mulai
menyentuh rerumputan yang ada di sekelilingku. Tempat ini....
-Flash Back-
“Kau
yakin akan menggunakan motor Sayang?”
“Iya
Justin. Kita sudah telat,”
“Ya
sudah..”
“Kenapa?”
“Kau
tak takut tatanan rambut dan make up mu hancur?”
“Tidak.
Ayo cepat!”Kemudian kami pun mulai berangkat.
“Lebih
dipercepat Justin,”ucapku. Dia menambah kecepatan laju motornya. Cukup tinggi
memang. Bahkan aku harus memeluknya erat karena ini terlalu cepat. Tangannya
sempat terangkat untuk melihat jam. Namun keseimbangannya hilang. Dengan cepat
dia menahan motornya dan menyeimbangkannya kembali.
“Tidak
apa-apa?”Justin menoleh ke arahku.
“Tidak....
Justin, awaas!”
Tanpa
kita sadari, ada sebuah mobil menyebrang di perempatan jalan ini. Karena
kecepatan motornya terlalu tinggi, akhirnya kami menabrak mobil tersebut. Kami
terpental sangat jauh. Aku terpental ke rerumputan pinggir jalan. Untungnya.
Jadi lukaku tak terlalu parah. Namun, Justin... dia terpental ke jalan raya.
Sangat jauh denganku. Bagaimana ini? Mobil tadi langsung pergi tanpa
pertanggung jawaban. Motor kami pun terpental sangat jauh dari sini, motor itu
hancur dan terbakar.
Jus..tin....
Arrghh,
kepalaku pusing. Justin mengeluarkan darah rupanya. Aku terbentur oleh bebatuan
yang ada disini. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berdiri dan berjalan menuju
Justin yang tengah terkapar dilumuri darah.
“Jus...tin...”desisku.
Aku tak
kuat lagi, sudah setengah jalanmenuju Justin, namun aku roboh. Dia mengulurkan
tangannya mencoba menggapaiku. Ku kumpulkan semua tenagaku, akhirnya aku
bangkit lagi dan berlari ke arahnya.
“Justiiinn....bertahanlaaahhh...”teriakku
Dia
hanya tersenyum padaku. Ahh! Hujan! Kenapa harus hujan di saat seperti ini? Aku
mencoba mengangkat Justin, entah tenaga dari mana akhirnya aku bisa membopongnya
menuju tempat yang teduh. Disini, di bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan.
“Tolong!!!
Ku mohon siapapun tolong kami,”
Percuma
aku berteriak sekancang apapun, tidak akan ada siapapun disini. Tidak ada
gedung, rumah atau apalah. Disini hanya ada jalan yang sepi dan rintikan hujan
yang mulai deras.
“Justin....kumohon
bertahanlah,”
KU
letakkan kepalanya di pahaku. Aku mengeluarkanponselku, mencoba untuk
menghubungi siapapun.
“Aaaaaw!
Kenapa lowbat!”
Aku
mengambil ponsel Justin yang berada di
dalam saku celananya.
“Haloo?”
“Ada
yang bisa kami bantu nona?”
“Tolong
panggil ambulance secepatnya, ada korban kecelakaan,”
“Baik
nona,”
KLIK.
“Justin,
ambulance akan segera datang, jadi bertahanlah sebentar lagi,”Dia mengangguk.
“Aku
akan menghubungi mama,”Dia mencegah tanganku yang hendak meraih ponselnya.
Kemudian dia menggeleng pelan.
“Kenapa?”
“Ku
mohon diamlah, dengarkan aku dulu,”ucapnya setengah berbisi k. Mungkin
tenaganya tak cukup untuk berbicara.
“Ya..
Justin. Katakan padaku,”
Dia
tersenyum terlebih dahulu padaku. Dan itu terlihat sangat menyedihkan. Dengan
kondisinya saat ini.
“Jika
aku pergi kumohon padamu untuk tetap selalu ceria, aku tidak ingin melihatmu
hancur karenaku,”
“Justin,
jangan bicara seperti itu,”
“Dan
kumohon, kau jangan berniat untuk menyusulku. Jangan sesekali kau melakukan
itu. Tunggu aku. Aku juga pasti akan menjemputmu. Selama kau menungguku kau
harus tetap bahagia dan harus tetap tersenyum,uhuk uhuk” Keluar darah dari
mulutnya, dia mengusap dengan tangannya. Ku bungkam mulutku untuk menahan isak
tangis ini. Sungguh, aku tak kuat melihat keadaannya saat ini. Darah memenuhi
sekujur tubuhnya. Kemeja putihnya nampak berubah menjadi merah. Darah mengalir
dari kepala hingga pelipisnya. Oh Tuhan..... aku tak kuat melihat semua ini.
“Justin bertahanlah, jangan
banyak bicara jika itu menyakitimu,”Dia menggeleng.
“Tidak.
Sungguh tidak ada waktu lagi, aku harus menyampaikan semuanya,”
“Justin..kumohon,”
“Taylor,
aku benar-benar mencintaimu. Kau telah hadir mengisi hidupku. Membuatku menjadi
ceria. Maaf karena aku belum smpat membahagiakanmu,”
“Tidak Justin,
kau sudah membuatku sangat bahagia Justin..ku mohon,”
“Tenang
saynag, sakit rasanya melihat air mata itu membasahi wajah cantikmu, sangat
sakit melebihi luka yang memenuhi tubuhku saat ini,” Jemari lemahnya yang penuh
darah mencoba menghapus air mataku.
“Aku
mencintaimu,”ucapnya sambil terisak.
Dia
juga menangis...... Lelaki ini juga menangis. Ku genggam tangannya yang berada
di pipiku.
“Uhuk,
uhuk... Aku sudah tak kuat lagi sayang... Maafkan aku harus meninggalkanmu,”
“Jangan
Justin, jangan ! Kumohon....”
“Bolehkan
aku mengecup keningmu? Se-kali in-i sa-ja,”ucapnya terbata-bata.
Ku
dekatkan keningku ke bibirnya, di kecupnya keningku lembut dan tersenyum
diiringi buliran-buliran air matanya.
“A-ku
men-cin-ta-i-mu”Ucapnya dengan susah payah.
“Aku
juga mencintaimuu Justin,”
Dan
akhirnya matanya tertutup dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng
kuat. Membungkan mulutku. Aku tidak bisa berkata apapun. Sungguh ini sangat
pedih. Separuh jiwaku telah pergi. Sangat pedih rasanya. Aku harus bagaimana
Tuhan? Mengapa takdirku sangat menyedihkan?
“JUSTIIINNNNNNNNNNNNN!!!”
Teriakku tak rela dengan perginya seseorang yang saat ini ada di depanku.
Seseorang yang sudah tak bernyawa lagi.
“JUSTINN—NN---NN---NN,”Jeritku
lagi.
Tuhan,
mengapa? Mengapa harus seperti ini? Ku
mengadahkan kepalaku membiarkan tetesan air hujan bercampur air mataku menerpa
wajah ini. Ya, hujan semakin deras. Membasahi kami. Hujan seolah-olah menjadi
saksi bisu atas peristiwa ini. Hujan juga menjadi alasan dia meninggalkanku.
“Ternyata
aku salah. Pendirianku bahawa hujan itu menyenangkan itu salah. Memang,
hujanlah yang mempertemukan kami. Namun hujan pulan yang memisahkan kami untuk
selamanya.”
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar